Data perdagangan Jepang menunjukkan bahwa sengketa atas gugusan pulau kecil antara Jepang dan China mulai terlihat imbasnya pada perekonomian dan kian memperburuk kondisi ekonomi global yang tengah lemah. Sejak sengketa mulai berkobar antara negara dengan perekonomian kedua dan ketiga dunia terbesar menunjukkan sinyal pelemahan dan memicu kekhawatiran International Monetary Fund bahwa pelambanan ekonomi global lebih parah dari antisipasi pasar.
Rilis data pagi ini yang dilakukan oleh
menteri keuangan Jepang menunjukkan bahwa nilai ekspor Jepang ke China
turun 14.1% dari tahun sebelumnya di bulan September menjadi Y329.5
miliar, mencatat penurunan terbesar sejak Januari (saat turun 20.2%) dan
lebih buruk dari penurunan di bulan Agustus sebesar 9.9% yang
berkontribusi pada pelemahan ekonomi China. Jumlah penurunan terbesar
dari ekspor mobil yang anjlok 44.5%.
Dampak dari sengketa ini paling besar
terasa pada semua jenis produk-produk Jepang dari lipstik hingga mobil.
Target selanjutnya pada alat-alat mesin dan komponen yang dibutuhkan
untuk menjalankan pabrik di China dan memasok kebutuhan global.
"Meregangnya hubungan dengan China akan menjadi pukulan hebat bagi
ekonomi Jepang," jelas Ryutaro Kono, kepala ekonom BNP Paribas. "Jika
masalah ini terus berkanjut hingga tahun depan resesi ekonomi di Jepang
tidak dapat dihindari," katanya. Pertumbuhan hasil ekonomi China juga
menunjukkan penurunan sebesar 7.4% dalam kurun waktu Juli-September,
ekspansi terendah sejak awal tahun 2009. Saat angka pertumbuhan Jepang
menunjukkan penurunan tajam selama periode April hingga juni setelah
terjadi ekspansi besar di kuartal pertama. Sebagian besar analis menilai
pelambanan ekonomi yang terjadi di China sebagai faktor negatif utama
bersama dengan krisis hutang Eropa dan penguatan yen. "Dapat dikatakan
apapun yag terjadi di China akan mempengaruhi Jepang dan juga negara di
sekitarnya Korea Selatan, Malaysia dan Taiwan,'" menurut Hajime Takata,
kepala ekonom Mizuho Research Institute. Sekitar sepertiga nilai ekspor
Jepang ke China diperuntukkan bagi konsumen China dengan sisanya ke
negara lain diantaranya AS, jelas Toshihiro Nagahama, kepala ekonom
Dai-Ichi Life Research Institute.
"China tidak lagi menjadi basis
manufaktur utama Jepang, kata Mr. Nagahama. Pertumbuhan nilai ekpor
Jepang menurun sejak bencana alam Maret 2011. Gempa bumi dan tsunami
yang menghantam Jepang Utara dan juga krisis nuklir membuat nilai impor
meningkat. Hal ini menghasilkan defisi perdagangan pertama dalam tiga
dekade. Permintaan China atas produk Jepang yang menurun tampaknya
membuat Jepang akan kembali membukukan penurunan angka perdagangan tahun
ini, jelas Mr. Nagahama.
Memburuknya kondisi ekonomi membuat
perdana menteri Jepang Yoshihiko Noda berada dalam posisi sulit. Langkah
yang dilakukan guna memperbaiki hubungan dengan China akan menjadi
langkah yang tidak popular terutama menjelangf pemilu yang akan
dilakukan awal tahun depan. Di saat yang sama, langkah yang keras akan
memberi resiko yang lebih besar pada kondisi ekonomu yang dapat
mempengaruhi agenda politik diantaranya rencana kenaikan pajak
penjualan. Jika ekonomi melemah, ia harus menunda kenaikan pajak dan
akan berimbas pada kondisi hutang Jepang.
Perekonomian Jepang mangalami guncangan
lebih hebat dari memburuknya hubungan dengan China, jelas analis. Meski
China di tahun 2005 juga sempat melakukan demonstrasi besar-besaran dan
dikenal sebagai perang putih, nilai ekpor Jepang ke China masih mencatat
kenaikan 10.5%. Hubungan perdagangan lebih terasa imbasnya di Jepang
daripada di China, jelas analis. China memberi kontribusi 20% terhadap
seluruh nilai ekspor Jepang. Sementara pembelian Jepang ke China kurang
dari 10%. Dalam skenario paling ekstrim, Ekspor Jepang ke China
benar-benar tidak menunjukkan peningkatan dalam satu bulan, hasil
perekonomian domestik Jepang turun hingga Y2.2 triliun, menurut estimasi
Mitsumaru Kumagai, kepala ekonom Daiwa Institute of Research. "Kami
harus mewaspadi kondisi ini dimana sektor industri skala besar dari
industri mesin umum hingga peralatan elektronik hingga barang-barang
kimia serta baja dan transportasi akan terkena imbas negatif," jelas Mr.
Kumagai. Baik ekonomi China dan Jepang akan kembali tertekan saat IMF
memperingatkan resesi global.
No comments:
Post a Comment