Monday, October 22, 2012

Data Perdagangan Jepang Negatif

 
Data perdagangan Jepang menunjukkan bahwa sengketa atas gugusan pulau kecil antara Jepang dan China mulai terlihat imbasnya pada perekonomian dan kian memperburuk kondisi ekonomi global yang tengah lemah. Sejak sengketa  mulai berkobar antara negara dengan perekonomian kedua dan ketiga dunia terbesar menunjukkan sinyal pelemahan dan memicu kekhawatiran International Monetary Fund bahwa pelambanan ekonomi global lebih parah dari antisipasi pasar.

Rilis data pagi ini yang dilakukan oleh menteri keuangan Jepang menunjukkan bahwa nilai ekspor Jepang ke China turun 14.1% dari tahun sebelumnya di bulan September menjadi Y329.5 miliar, mencatat penurunan terbesar sejak Januari (saat turun 20.2%) dan lebih buruk dari penurunan di bulan Agustus sebesar 9.9% yang berkontribusi pada pelemahan ekonomi China. Jumlah penurunan terbesar dari ekspor mobil yang anjlok 44.5%.

Dampak dari sengketa ini paling besar terasa pada semua jenis produk-produk Jepang dari lipstik hingga mobil. Target selanjutnya pada alat-alat mesin dan komponen yang dibutuhkan untuk menjalankan pabrik di China dan memasok kebutuhan global. "Meregangnya hubungan dengan China akan menjadi pukulan hebat bagi ekonomi Jepang," jelas Ryutaro Kono, kepala ekonom BNP Paribas. "Jika masalah ini terus berkanjut hingga tahun depan resesi ekonomi di Jepang tidak dapat dihindari," katanya. Pertumbuhan hasil ekonomi China juga menunjukkan penurunan sebesar 7.4% dalam kurun waktu Juli-September, ekspansi terendah sejak awal tahun 2009. Saat angka pertumbuhan Jepang menunjukkan penurunan tajam selama periode April hingga juni setelah terjadi ekspansi besar di kuartal pertama. Sebagian besar analis menilai pelambanan ekonomi yang terjadi di China sebagai faktor negatif utama bersama dengan krisis hutang Eropa dan penguatan yen. "Dapat dikatakan apapun yag terjadi di China akan mempengaruhi Jepang dan juga negara di sekitarnya Korea Selatan, Malaysia dan Taiwan,'" menurut Hajime Takata, kepala ekonom Mizuho Research Institute. Sekitar sepertiga nilai ekspor Jepang ke China diperuntukkan bagi konsumen China dengan sisanya ke negara lain diantaranya AS, jelas Toshihiro Nagahama, kepala ekonom Dai-Ichi Life Research Institute.

"China tidak lagi menjadi basis manufaktur utama Jepang, kata Mr. Nagahama. Pertumbuhan nilai ekpor Jepang menurun sejak bencana alam Maret 2011. Gempa bumi dan tsunami yang menghantam Jepang Utara dan juga krisis nuklir membuat nilai impor meningkat. Hal ini menghasilkan defisi perdagangan pertama dalam tiga dekade. Permintaan China atas produk Jepang yang menurun tampaknya membuat Jepang akan kembali membukukan penurunan angka perdagangan tahun ini, jelas Mr. Nagahama.

Memburuknya kondisi ekonomi membuat perdana menteri Jepang Yoshihiko Noda berada dalam posisi sulit. Langkah yang dilakukan guna memperbaiki hubungan dengan China akan menjadi langkah yang tidak popular terutama menjelangf pemilu yang akan dilakukan awal tahun depan. Di saat yang sama, langkah yang keras akan memberi resiko yang lebih besar pada kondisi ekonomu yang dapat mempengaruhi agenda politik diantaranya rencana kenaikan pajak penjualan. Jika ekonomi melemah, ia harus menunda kenaikan pajak dan akan berimbas pada kondisi hutang Jepang.

Perekonomian Jepang mangalami guncangan lebih hebat dari memburuknya hubungan dengan China, jelas analis. Meski China di tahun 2005 juga sempat melakukan demonstrasi besar-besaran dan dikenal sebagai perang putih, nilai ekpor Jepang ke China masih mencatat kenaikan 10.5%. Hubungan perdagangan lebih terasa imbasnya di Jepang daripada di China, jelas analis. China memberi kontribusi 20% terhadap seluruh nilai ekspor Jepang. Sementara pembelian Jepang ke China kurang dari 10%. Dalam skenario paling ekstrim, Ekspor Jepang ke China benar-benar tidak menunjukkan peningkatan dalam satu bulan, hasil perekonomian domestik Jepang turun hingga Y2.2 triliun, menurut estimasi Mitsumaru Kumagai, kepala ekonom Daiwa Institute of Research. "Kami harus mewaspadi kondisi ini dimana sektor industri skala besar dari industri mesin umum hingga peralatan elektronik hingga barang-barang kimia serta baja dan transportasi akan terkena imbas negatif," jelas Mr. Kumagai. Baik ekonomi China dan Jepang akan kembali tertekan saat IMF memperingatkan resesi global.

No comments:

Post a Comment