Wednesday, October 17, 2012

Sambutlah Macan Ekonomi Baru Dunia!

Dunia ekonomi sepertinya harus mengubah susunan anggota BRIC menjadi BRIIC, dengan memasukkan satu negara baru di dalamnya.
 
Dalam lima tahun terakhir, muncul empat kekuatan ekonomi baru yang lazim disingkat dengan kata BRIC, yang terdiri dari Brazil, Rusia, India dan China. Namun harapan terhadap sumbangsih dari keempat negara itu kian memudar dalam satu tahun terakhir akibat isu perlambatan ekonomi. BRIC tadinya diperkirakan mampu memotori pertumbuhan ekonomi dunia di tengah penurunan gairah bisnis di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Jepang. Namun sayangnya, mereka juga mengalami masalah serupa akibat penurunan kinerja ekspor maupun masalah fiskal dan moneter.

Kini harapan besar digantungkan pada negara berkembang yang mampu bertahan menghadapi gejolak ekonomi global. Adalah Indonesia yang sejauh ini mampu mempertahankan pertumbuhan ekonominya saat negara-negara lain justru terperosok ke dalam krisis. Indonesia membuktikan diri sebagai negara dengan kinerja ekonomi impresif berkat kenaikan jumlah warga golongan menengah dan konsumsi domestik yang solid. Investor dan pengamat ekonomi bahkan sudah menganggap negara ini ideal untuk dijadikan lokasi penanaman modal.
 
Ya, sektor konsumsi dalam negeri memang menjadi senjata utama Indonesia untuk mempercepat laju ekonomi. Daya beli masyarakat terus meningkat dari waktu ke waktu sehingga banyak perusahaan internasional memasukkan wilayah nusantara dalam agenda ekspansinya. "Konsumen telah menambah nilai ekonomi karena mereka sekarang mampu membeli produk rumah tangga, seperti sabun dan deterjen, dengan harga mahal," puji Bharat Joshi, Asisten Manajer Investasi perusahaan Aberdeen, yang mengelola dana investasi di Indonesia sekitar $500 juta. Joshi menambahkan bahwa kinerja pendapatan emiten terkerek naik oleh membaiknya upah atau gaji masyarakat.

Sejak dihantam krisis di era 1990-an, perekonomian negara di Asia Tenggara ini terus melaju hingga sekarang. Indikasi itu tampak jelas jika mengacu pada performa bursa sahamnya, yang konsisten naik dari tahun ke tahun. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bahkan terus menguntit kinerja indeks S&P 500 Amerika Serikat dalam dua tahun belakangan. Kenaikan IHSG sebanyak 19% hanya berbeda tipis dengan perolehan S&P dalam periode yang sama, yaitu 20%.

Rahasia di balik pertumbuhan Indonesia adalah perluasan daerah ekonomi di dalam negeri. Kalau negara ini hanya bertumpu pada kinerja ekspor, nasibnya mungkin tidak akan berbeda dengan Jepang atau Australia, yang ikut terseret oleh krisis ekonomi di Amerika dan Eropa. Pertambahan jumlah golongan kelas menengah berdampak bagus karena hasil produksi barang dan jasa bisa terserap dengan baik dalam skala domestik. Tingkat kesejahteraan masyarakat relatif membaik karena titik-titik aktivitas ekonomi tidak hanya terpusat di kota-kota besar seperti dulu, namun makin merata ke berbagai penjuru pulau. Artinya, perputaran uang tidak lagi di area yang sama seiring gairah ekspansi bisnis dan usaha kecil. Kelihaian pemerintah pusat dalam menangani inflasi juga patut diapresiasi. Otoritas cukup fasih menyeimbangkan stabilitas harga meski laju pertumbuhan domestik tahunan berkisar di level 6% dalam dua tahun terakhir.
Salah satu lembaga penasihat bisnis dunia, McKinsey & Co., memprediksi bahwa Indonesia akan jadi negara perekonomian terbesar ke-7 dunia di tahun 2030 (sekarang di peringkat 16). Predikat itu akan dibarengi dengan kenaikan jumlah warga kelas menengah sebanyak 90 juta orang atau dua kali lipat dibanding jumlah saat ini yang baru sebesar 45 juta orang.
Secara sektoral, lini yang paling berperan dalam kemajuan pasar modal Indonesia adalah komoditas dan sumber daya. Sebagian besar perusahaan publik yang terdaftar di bursa efek memiliki bisnis inti di kedua sektor tersebut. Selain terkenal sebagai produsen batubara terbesar sejagad, negara ini juga merupakan penghasil minyak kelapa sawit yang paling berpengaruh. Oleh karena itu, pasar saham sangat diuntungkan oleh pertumbuhan bisnis dan industri di negara-negara importir. Tingkat pendapatan emiten dipastikan positif selama wilayah mitra dagang giat membangun infrastruktur dan membutuhkan bahan baku yang hanya ada di Indonesia. Sisi buruknya tentu juga tidak kecil karena ketergantungan pada sektor komoditas bisa menyebabkan penurunan jumlah pemasukan saat kondisi makroekonomi sedang lesu. Situasi seperti inilah yang tengah dihadapi Australia sekarang pasca booming sektor komoditi satu-dua tahun lalu.

Adapun sektor yang dianggap masih mampu meraup laba secara konsisten adalah perbankan dan produk konsumen. Sementara perusahaan otomotif seperti Astra diperkirakan kembali diuntungkan oleh lonjakan jumlah warga golongan mampu. Demikian pula dengan Unilever, yang varian produknya menembus berbagai lapisan konsumen. Bagi investor asing yang ingin mengakses pasar modal Indonesia dengan lebih mudah, bisa menggunakan produk ETF atau Exchange Traded Funds. Dua ETF utama yang ditraksaksikan adalah Market Vectors Indonesia Index ETF (IDX) dan iShares MSCI Indonesia Investable Market Index Fund (EIDO). Return-nya cukup bagus meski tidak seapik imbal hasil indeks saham gabungan sepanjang tahun ini.

Walaupun prospek ekonomi Indonesia sangat cerah, bukan berarti tidak ada tantangan yang harus dihadapi. Pemodal asing mengeluhkan kurangnya komitmen pemerintah terhadap reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi. Sementara perusahaan publik juga belum memperlihatkan good corporate governance sebagaimana sudah diimplementasikan dengan baik di negara-negara barat. Introspeksi pemerintah dan pelaku bisnis merupakan suatu hal yang wajib supaya arus modal masuk dapat makin deras di tengah krisis keuangan global.

No comments:

Post a Comment